Artikel
Rabu, 11 Sep 2024

URGENSI PEMINDAHAN JADWAL PEMILIHAN ANGGOTA DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA MENJADI SERENTAK DENGAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH UNTUK MENJAMIN KONDISI KESEHATAN PETUGAS KPPS

post by Admin JDIH

@ admin
...

Isu terkait demokrasi selalu mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Kekuasaan eksekutif yang terlalu dominan dalam pemerintahan sudah tidak menarik bagi masyarakat. Situasi tersebut digambarkan dalam teori Trias Politika yang membagi kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Trias Politika merupakan ide yang lahir dengan tujuan mencegah kekuasaan eksekutif yang terlalu dominan serta menyeimbangkan setiap langkah kebijakan eksekutif melalui lembaga legislatif dan lembaga yudikatif (Montesquieu: 1748). Semua orang ingin terlibat dalam jalannya roda pemerintahan agar dapat mewujudkan rasa keadilan dan keamanan. Hal ini disadari oleh para negarawan dengan dirumuskannya Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.

Sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Indonesia sudah berkomitmen untuk melaksanakan kehidupan bernegara yang berlandaskan demokrasi. Semakin baik kualitas demokrasi Indonesia, maka semakin aman dan akrab pula hubungan antara rakyat dengan pemerintah dalam kehidupan bernegara. Pengukuran kualitas demokrasi tidak hanya berlandaskan pada kebebasan rakyat dalam mengawal langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah yang dipilih melalui Pilpres saja. Selain keterbukaan pemerintah pusat, kualitas demokrasi juga dicerminkan pada kualitas pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dilandasi oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (2), “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”, yang dilanjutkan dengan ayat (3), “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.

Terhitung sejak periode tahun 2019, Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) dilaksanakan serentak di satu tanggal yang sama. Hal ini dilandasi pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PPU-XI/2013 setelah Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam gugatannya, koalisi meminta pemilihan legislatif mulai dari DPR, DPD hingga DPRD dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan Presiden untuk memperkuat pengawasan dan check and balances dalam sistem presidensial (Humas MKRI: 2022). Selain itu, pelaksanaan Pileg yang bersamaan dengan Pilpres membantu masyarakat untuk tidak perlu datang dua kali ke TPS. Selain memudahkan pemilih, Pileg dan Pilpres secara serentak juga akan memudahkan pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu dan menekan biaya infrastruktur pemilihan (Finaka Andrean W: 2018).

Menyikapi Putusan MK Nomor 14/PPU-XI/2013, pelaksanaan pemilihan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota akhirnya dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilihan anggota DPR RI dan DPD RI. Putusan tersebut kemudian dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pada Pasal 1 ayat (1) disebutkan “Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 1 ayat (1) UU Pemilu yang berdasarkan Putusan MK Nomor 14/PPU- XI/2013 menjadi landasan bagi KPU RI untuk melaksanakan pemilihan anggota DPRD bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPD, dan juga pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (KPU RI 2024).

Komisi Pemilihan Umum RI (KPU) selaku pelaksana Pemilu kemudian mengesahkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2022 sebagai landasan hukum dalam menyelenggarakan pemilihan umum tahun 2024. Peraturan ini memuat berbagai aturan termasuk pengangkatan anggota KPU RI tingkat nasional hingga pengangkatan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Setiap anggota KPPS yang akan dipilih harus memiliki kemampuan secara jasmani maupun rohani (Pasal 35 huruf f). Sebagai pihak yang terlibat langsung dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan juga menjadi bagian dari keluarga besar KPU, maka setiap petugas KPPS sebagai wakil KPU di tingkat TPS memang harus memiliki kemampuan yang sudah teruji agar berbagai kesalahan yang ada di tingkat paling dasar dalam Pemilu bisa diminimalisir.

Dalam tahapan menjamin petugas KPPS yang akan bertugas dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, dalam berkas pendaftaran yang akan diberikan kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), setiap calon anggota KPPS harus menyertakan surat keterangan sehat jasmani rohani dari pihak puskesmas. Namun dalam pelaksanaannya, terutama dalam Pemilu serentak yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 2019 terdapat 894 petugas KPPS meninggal dunia dalam melaksanakan tugasnya (Kompas: 2020). Tidak hanya itu, dalam Pemilu serentak 2024 terdapat 94 petugas KPPS yang meninggal dalam melaksanakan tugasnya. Meninggalnya petugas KPPS pada dua edisi Pemilu serentak tersebut terjadi karena satu alasan yang sama, yakni kelelahan akibat bekerja selama lebih dari 24 jam (Rahmayati Dwi: 2024).

Jika kita mencoba untuk mencari pasal yang mengatur tentang kondisi kesehatan anggota KPPS, sebenarnya peraturan perundang-undangan sudah mengaturnya di dalam Pasal 35 huruf g Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2022 tentang() Pembentukan dan Tata Kerja Badan Adhoc Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota yang berbunyi “mampu secara jasmani, rohani dan bebas dari pemakaian narkotika”. Namun meskipun anggota KPPS sudah dinyatakan memenuhi persyaratan tersebut, kenyataannya 13 ribu petugas lainnya jatuh sakit karena alasan yang sama, yakni kelelahan (BBC News: 2024). Rasa kelelahan yang dirasakan oleh petugas KPPS saat bertugas akan menurunkan kredibilitas hasil pemilu. Kelelahan yang muncul tidak bisa dipungkiri terjadi karena dalam satu hari yang sama petugas penyelenggara Pemilu harus menyelesaikan pemungutan dan penghitungan suara untuk lima kategori yang berbeda; Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Melihat kenyataan ini, sepertinya merupakan hal yang sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan penambahan terhadap Pasal 1 angka 1 UU Pemilu. Perubahan yang bisa dilakukan adalah dengan memperbaiki sistem Pemilu serentak untuk edisi 2029 mendatang. Seperti yang kita ketahui, penyeimbang kekuasaan presiden adalah DPR dan DPD. Sementara DPRD provinsi bertugas untuk menyeimbangi kekuasaan gubernur di tingkat provinsi dan DPRD kabupaten/kota bertugas menyeimbangi kekuasaan bupati/walikota di tingkat kabupaten/kota. Sepertinya Pasal 1 angka 1 UU Pemilu bisa diubah dan dikhususkan untuk pemilihan eksekutif dan legislatif di tingkat nasional saja, dan jadwal pemilihan legislatif khusus untuk anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota bisa dirumuskan untuk dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Ada baiknya Pasal 1 angka 2 Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2022 yang mengatur tentang Pilkada provinsi dan kabupaten/kota direvisi untuk memuat pemilihan legislatif DPRD di dalamnya yang dilaksanakan serentak bersamaan dengan pemilihan kepala daerah. Hal ini akan berdampak pada semakin kuatnya fungsi check and balances dari DPRD kepada kepala daerah, serta meringankan tugas petugas KPPS sehingga lebih menjamin kondisi kesehatan mereka dalam dan pasca bertugas, serta memperkuat pelaksanaan check and balances pemerintah daerah oleh DPRD masing-masing.